Agile Transformation sudah bukan hal yang asing lagi saat ini, bahkan bagi sebagian orang sudah membosankan. Salah satu tantangan dalam Agile Transformation adalah kultur.
Agile Transformation tidak hanya mengganti cara kerja atau alat kerja, perubahan ini juga menyinggung kultur. Salah satu contoh yang mungkin terkenal dikalangan praktisi adalah New Way of Working yang dilakukan oleh ANZ. Jika diperhatikan, kultur berperan sangat besar dalam perubahan yang dilakukan oleh ANZ.
Namun, selayaknya perubahan, Agile Transformation bukan hal yang mudah, bak mengganti Trello dengan Jira. Setiap organisasi berusaha melakukannya dengan cepat, tapi justru kehilangan inti dari perubahan tersebut, dan menyebabkan anti-pati.
Perubahan membutuhkan dukungan banyak pihak. Lalu bagaimana cara yang benar dalam menjalankan misi perubahan? Tidak ada cara yang paling benar, menurut saya. Bahkan mungkin tidak ada user guide yang menjelaskan langkah-langkahnya, karena perubahan bukanlah kondisi simple yang sebab-akibat dapat dijelaskan secara langsung.
Ada banyak sekali framework, model atau mungkin metode Agile Transformation tapi tidak ada yang bisa menjamin keberhasilan. Ini karena tantangan dari Agile Transformation membutuhkan probing dan strategy. Probing dapat menghasilkan kegagalan, begitu pula strategy. Seberapa besar kita menghargai kegagalan juga mempengaruhi keberhasilan.
Challenge lainnya adalah sebaik apapun strategi yang berhasil dirancang, sehebat apapun tim yg merancang strategi, setebal apapun dokumen yang dibuat tetap bisa berujung kegagalan. Mengutip perkataan Peter Drucker, "culture eats strategy for breakfast", sehebat apapun strategi yang dibuat, keberhasilan dan kemanjuran akan terhambat oleh orang-orang yang menerapkan strategi tersebut jika kultur tidak mendukungnya.
Culture eats strategy for breakfast. -Peter Drucker
Kultur mempunyai peran yang vital dalam Agile Transformation. Namun mengubah kultur bukanlah hal yang mudah, bahkan hal yang tersulit yang dihadapi organisasi. Ini seperti mengubah keyakinan.
Agile Transformation selayaknya melibatkan orang yang membuat strategi dan orang yang menjalankan strategi. Menghindari ini akan menimbulkan fenomena management vs supervision.
Pendapat sebagian orang mengatakan agile is about mindset. "Mindsetnya harus diubah dulu klo mau agile transformation". Pertanyaannya sama, bagaimana mengubah mindset dan culture untuk mendukung Agile Transformation?
Jawabannya yaitu dengan mencari tau akar bagaimana mindset dan culture bisa terbentuk.
Kembali berbicara kultur, kultur mendukung keberhasilan strategi. Namun merubah kultur adalah hal yang tidak mudah, bahkan tidak akan ada akhirnya. Ibarat gunung es, kultur adalah bagian terbesar yang tidak terlihat oleh mata namun menjadi pondasi yang kuat. Lalu bagaimana mengubah sesuatu yang sangat kuat dan besar yang tidak terlihat oleh mata?
Menurut John Shook, ada 3 hal dalam bagiamana organization culture bisa terbentuk, yaitu What We Do, Values and Attitudes dan Culture.
Mengubah mindset untuk mengubah behavior disebut sebagai old model. Dan mengubah behavior untuk mengubah mindset disebut sebagai new model.
Sikap dan tindakan yang dilakukan adalah manifestasi dari values and attitude di organisasi tersebut. Value and attitudes juga manifestasi dari culture di organisasi.
New model ingin mengatakan, mengubah kultur yang sangat besar dan kuat saat ini tidak dapat dilakukan hanya dengan membuat sistem yang lebih baik, menggunakan teknologi yang lebih canggih, karena pada akhirnya manusia lah yang tetap membuat dan menjalankan sistem.
Sebaliknya, perubahan sikap yang terjadi sehari-hari dalam pekerjaan dan interaksi akan merangsang perbuahan pola pikir, yang secara tidak disadari akan mengubah kultur.
Agile Transformation yang digembor-gemborkan dan mungkin menghabiskan budget yang besar, menggunakan jasa konsultan paling tenar tetap harus didukung oleh perubahan sikap orang-orang didalamnya.
Good attitudes are more much meaningful than good quote on a wall
Comments